Rabu, 19 Desember 2012

Pornografi di kalangan remaja


Peran orang tua dalam mendidik dan membimbing anak sangat penting dan tak bisa tidak, sangat menentukan keberadaan anak tersebut di masa akan datang. Kenyataannya, peran orang tua dewasa ini semakin berat. Betapa tidak. Hantaman era globalisasi telah menafikan aturan yang melarang anak untuk tidak secepatnya mengenal yang namanya pornografi atau pornoaksi. Di berbagai media, baik itu elektronik maupun cetak, tayangan dan gambar yang mengandung unsur pornografi 'bergentayangan' tak kenal lelah menghantui anak-anak.
Berdasarkan catatan sebuah lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, selain menjadi negara tanpa aturan jelas tentang pornografi, Indonesia juga mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak-anak.
Kondisi seperti itu, sebenarnya telah pula ditangkap Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lewat beberapa kali penelitian dan survey di lapangan, terkuak kenyataan di lapangan yang mengetengahkan gambaran kehidupan anak-anak Indonesia menjelang remaja, salah satunya adalah kegemaran coba-coba untuk urusan seks.
Salah satunya adalah hasil peneltian di Provinsi Jawa Barat, di mana dari 2.880 remaja yang disurvey BKKBN usia 15-24 tahun, sedikitnya 40 persen mengaku pernah berhubungan seks sebelum nikah.Tak hanya sampai di situ. Survey juga mencatat sedikitnya remaja usia 15-19 tahun hampir 60 persen diantaranya pernah melihat film porno dan 18,4 persen remaja putri mengaku pernah membaca buku porno. Data terakhir ini diperoleh dari peneltian oleh sejumlah mahasiswa di Universitas Airlangga terhadap 300 responden.
Sayangnya, banyak orang tua yang kadangkala kecolongan soal kegemaran anak-anak mereka yang menjelang remaja ini terhadap pornografi. Masih berdasarkan data terbaru, 25 persen anak-anak bahkan menonton film porno di rumah sendiri, 22 persen di rumah teman dimana materinya didapat dari VCD rental di sekitar rumah. Lebih parah lagi, kecanggihan teknologi telepon selular telah pula dirambah pornografi. Beberapa penyelidikan bahkan diketahui soal gambar porno yang sampai ke telepon selular atau handphone anak-anak SD.
Bahaya lain yang mengancam anak-anak adalah keberadaan situs porno. Inke Maris dari ASA Indonesia mengutip hasil penelitian di Amerika bahwa setidaknya ada 28 ribu situs porno di internet pada 2000 sementara tiap pekannya hadir 2 ribuan situs porno baru.
Malangnya, di Indonesia, situasi sedemikian tidak segera ditanggapi oleh pihak berwenang, yakni pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari tidak adanya regulasi yang jelas mengenai pornografi dan pornoaksi serta hukumnya.
Berita tentang pemerkosaan, pelecehan seksual dan kejahatan lainnya hampir setiap hari di kabarkan media massa. Belum lagi video-video porno yang terus diproduksi, baik yang dibuat secara profesional maupun amatir. Baik video yang memang diproduksi untuk kepentingan komersil maupun video yang pada awalnya hanya untuk kepentingan pribadi tapi 'terpublikasikan' secara umum.
Dampak video-video tersebut sangat luar biasa terhadap sikap dan gaya hidup masyarakat. Khususnya para generasi muda yang akan menjadi penerus bagi kelangsungan bangsa ini kedepannya. Bisa dibayangkan, jika para pemimpin bangsa di masa depan tersebut, saat ini sedang gemar menonton video-video mesum. Efek dari tontonan tersebut akan berpengaruh pada pembentukan sikap dan karakter mereka nantinya.
Agar tulisan ini tidak merembes kepada hal yang terlalu luas, maka permasalahan yang dibahas hanya pada video mesum porno sebagai salah satu penyebab dari hilangnya nilai-nilai moral dan budaya anak bangsa. Kemudian, solusi yang ditawarkan hanya dibatasi pada tatanan pendidikan anak-anak usia sekolah.
Maraknya aktivitas yang berbau seks bebas membuat kita menjadi gamang melihat perkembangan generasi muda saat ini. Apakah yang menjadi penyebab hal tersebut?
Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab hal tersebut dimana keduanya saling terkait satu sama lain. Penyebab Pertama adalah perkembangan teknologi yang sangat cepat. Teknologi yang semakin modern, memungkin penggunanya untuk dapat mengakses informasi dengan sangat cepat. Sebut saja ada video mesum terbaru yang beredar di sebuah daerah di jawa. Maka dengan bantuan internet, video tersebut dapat tersebar luas dengan hitungan menit kesemua daerah di seluruh nusantara ini dengan bantuan internet.
penyebaran video tersebut semakin meluas dengan bantuan koneksi data yang juga semakin canggih, seperti bluetooth dan dari PC ke handphone atau sebaliknya.
Pada kasus Ariel, Luna Maya dan Cut Tari misalnya. Dengan bantuan media massa, video tersebut diunduh sebanyak 200 ribu download dalam waktu 10 hari pertama. Andai saja 200 ribu download tersebut dilakukan oleh orang yang berbeda, berarti terdapat 200 ribu orang yang memiliki video tersebut dari unduhan internet.
Misalkan saja, rata-rata per orang yang mengunduh tadi juga membagikan video tersebut kepada teman nya yang lain melalui koneksi bluetooth minimal kepada 2 orang yang berbeda, maka akan terdapat tambahan 400 ribu orang lagi yang memiliki dan menonton video tersebut.
Berarti, sekarang ada 600 ribu orang yang memiliki video tersebut. Bayangkan jika video tersebut beredar seperti sistem multilevel marketing (MLM). Dan bayangkan juga jika seorang anak SMP membanggakan kepada teman satu kelasnya bahwa ia memiliki video tersebut dan kemudian hampir seluruh teman sekelasnya meminta copy video tersebut.
jika penyebaran informasi yang sangat cepat terjadi untuk hal-hal yang positif, seperti penyebaran ilmu pengetahuan, sosialisasi program pemerintah terbaru, up date penelitian terbaru dan sebagainya.
Sehingga, teknologi tidak dapat disalahkan apalagi dihambat perkembangannya karena justru akan merugikan manusia itu sendiri. Yang salah adalah pengguna teknologi yakni manusia itu sendiri. Hal ini lah yang berkaitan dengan penyebab kedua.
Penyebab kedua yang saling berkaitan dengan penyebab pertama adalah semakin berkurang nilai nilai pendidikan moral di setiap jenjang pendidikan formal. Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan cenderung diarahkan kepada pencapaian kemampuan kognitif siswa saja .
Walaupun di dalam tiga aspek pendidikan juga terkandung ranah psikomotor dan afektif (sikap), namun tetap saja tidak mampu memberikan solusi bagi persoalan degradasi moral bangsa ini. Lantas apakah yang menjadi penyebab ranah pendidikan afektif tersebut tidak ampuh untuk mengatasi masalah ini?
Hal ini disebabkan karena ranah afektif yang dimaksud adalah sikap dan minat siswa terhadap masing-masing bidang studi yang sedang mereka pelajari. Jadi, ranah afektif yang dimaksud bukanlah sikap moral dan nilai etika yang mampu meninggikan derajat manusia karena keelokan budi pekerti.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah pendidikan moral semenjak dini dari lingkungan keluarga. Banyak orang tua yang terjebak pada pola pendidikan yang sebenarnya justru berdampak negatif bagi perkembangan anak-anaknya.
Orang tua mengajarkan anak-anaknya berdemokrasi tapi tidak membekalinya dengan batasan yang wajib diketahui mereka. Sehingga, terjadi kebablasan dalam mengartikan kebebasan berpendapat, kebebasan bersikap, kebebasan dalam memilih tontonan yang layak, kebebasan dalam bergaul, kebebasan memilih pakaian sesuka mereka.
Ironisnya, orang tua ber-apologi dengan kata-kata 'biarlah, mereka kan masih muda'. Para anak-anak pun punya jawaban ampuh ketika ditegur, 'ah ... Bapak seperti tidak pernah muda saja'. Maka lengkaplah sudah proses 'demokrasi' dalam sebuah keluarga.
Tugas orang tua tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan lahiriah saja seperti makan, tempat tinggal, dan pendidikan formal. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah kebutuhan anak untuk menjadi manusia paripurna dengan balutan budi pekerti yang menawan banyak orang juga merupakan tanggung jawab orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar