Peran
orang tua dalam mendidik dan membimbing anak sangat penting dan tak bisa tidak,
sangat menentukan keberadaan anak tersebut di masa akan datang. Kenyataannya,
peran orang tua dewasa ini semakin berat. Betapa tidak. Hantaman era
globalisasi telah menafikan aturan yang melarang anak untuk tidak secepatnya
mengenal yang namanya pornografi atau pornoaksi. Di berbagai media, baik itu
elektronik maupun cetak, tayangan dan gambar yang mengandung unsur pornografi
'bergentayangan' tak kenal lelah menghantui anak-anak.
Berdasarkan catatan sebuah lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia,
selain menjadi negara tanpa aturan jelas tentang pornografi, Indonesia juga
mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi
pornografi terhadap anak-anak.
Kondisi seperti itu, sebenarnya telah
pula ditangkap Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lewat
beberapa kali penelitian dan survey di lapangan, terkuak kenyataan di lapangan
yang mengetengahkan gambaran kehidupan anak-anak Indonesia menjelang remaja,
salah satunya adalah kegemaran coba-coba untuk urusan seks.
Salah satunya adalah hasil peneltian
di Provinsi Jawa Barat, di mana dari 2.880 remaja yang disurvey BKKBN usia
15-24 tahun, sedikitnya 40 persen mengaku pernah berhubungan seks sebelum
nikah.Tak hanya sampai di situ. Survey juga mencatat sedikitnya remaja usia
15-19 tahun hampir 60 persen diantaranya pernah melihat film porno dan 18,4
persen remaja putri mengaku pernah membaca buku porno. Data terakhir ini
diperoleh dari peneltian oleh sejumlah mahasiswa di Universitas Airlangga
terhadap 300 responden.
Sayangnya, banyak orang tua yang
kadangkala kecolongan soal kegemaran anak-anak mereka yang menjelang remaja ini
terhadap pornografi. Masih berdasarkan data terbaru, 25 persen anak-anak bahkan
menonton film porno di rumah sendiri, 22 persen di rumah teman dimana materinya
didapat dari VCD rental di sekitar rumah. Lebih parah lagi, kecanggihan
teknologi telepon selular telah pula dirambah pornografi. Beberapa penyelidikan
bahkan diketahui soal gambar porno yang sampai ke telepon selular atau
handphone anak-anak SD.
Bahaya lain yang mengancam anak-anak
adalah keberadaan situs porno. Inke Maris dari ASA Indonesia mengutip hasil
penelitian di Amerika bahwa setidaknya ada 28 ribu situs porno di internet pada
2000 sementara tiap pekannya hadir 2 ribuan situs porno baru.
Malangnya, di Indonesia, situasi
sedemikian tidak segera ditanggapi oleh pihak berwenang, yakni pemerintah. Hal
itu bisa dilihat dari tidak adanya regulasi yang jelas mengenai pornografi dan
pornoaksi serta hukumnya.
Berita tentang pemerkosaan, pelecehan
seksual dan kejahatan lainnya hampir setiap hari di kabarkan media massa. Belum
lagi video-video porno yang terus diproduksi, baik yang dibuat secara
profesional maupun amatir. Baik video yang memang diproduksi untuk kepentingan
komersil maupun video yang pada awalnya hanya untuk kepentingan pribadi tapi
'terpublikasikan' secara umum.
Dampak video-video tersebut sangat
luar biasa terhadap sikap dan gaya hidup masyarakat. Khususnya para generasi
muda yang akan menjadi penerus bagi kelangsungan bangsa ini kedepannya. Bisa
dibayangkan, jika para pemimpin bangsa di masa depan tersebut, saat ini sedang
gemar menonton video-video mesum. Efek dari tontonan tersebut akan berpengaruh
pada pembentukan sikap dan karakter mereka nantinya.
Agar tulisan ini tidak merembes kepada
hal yang terlalu luas, maka permasalahan yang dibahas hanya pada video mesum
porno sebagai salah satu penyebab dari hilangnya nilai-nilai moral dan budaya
anak bangsa. Kemudian, solusi yang ditawarkan hanya dibatasi pada tatanan
pendidikan anak-anak usia sekolah.
Maraknya aktivitas yang berbau seks
bebas membuat kita menjadi gamang melihat perkembangan generasi muda saat ini.
Apakah yang menjadi penyebab hal tersebut?
Setidaknya ada dua hal yang menjadi
penyebab hal tersebut dimana keduanya saling terkait satu sama lain. Penyebab
Pertama adalah perkembangan teknologi yang sangat cepat. Teknologi yang semakin
modern, memungkin penggunanya untuk dapat mengakses informasi dengan sangat
cepat. Sebut saja ada video mesum terbaru yang beredar di sebuah daerah di
jawa. Maka dengan bantuan internet, video tersebut dapat tersebar luas dengan
hitungan menit kesemua daerah di seluruh nusantara ini dengan bantuan internet.
penyebaran video tersebut semakin
meluas dengan bantuan koneksi data yang juga semakin canggih, seperti bluetooth
dan dari PC ke handphone atau sebaliknya.
Pada kasus Ariel, Luna Maya dan Cut
Tari misalnya. Dengan bantuan media massa, video tersebut diunduh sebanyak 200
ribu download dalam waktu 10 hari pertama. Andai saja 200 ribu download
tersebut dilakukan oleh orang yang berbeda, berarti terdapat 200 ribu orang
yang memiliki video tersebut dari unduhan internet.
Misalkan saja, rata-rata per orang
yang mengunduh tadi juga membagikan video tersebut kepada teman nya yang lain
melalui koneksi bluetooth minimal kepada 2 orang yang berbeda, maka akan terdapat
tambahan 400 ribu orang lagi yang memiliki dan menonton video tersebut.
Berarti, sekarang ada 600 ribu orang
yang memiliki video tersebut. Bayangkan jika video tersebut beredar seperti
sistem multilevel marketing (MLM). Dan bayangkan juga jika seorang anak SMP
membanggakan kepada teman satu kelasnya bahwa ia memiliki video tersebut dan
kemudian hampir seluruh teman sekelasnya meminta copy video tersebut.
jika penyebaran informasi yang sangat
cepat terjadi untuk hal-hal yang positif, seperti penyebaran ilmu pengetahuan,
sosialisasi program pemerintah terbaru, up date penelitian terbaru dan
sebagainya.
Sehingga, teknologi tidak dapat
disalahkan apalagi dihambat perkembangannya karena justru akan merugikan
manusia itu sendiri. Yang salah adalah pengguna teknologi yakni manusia itu
sendiri. Hal ini lah yang berkaitan dengan penyebab kedua.
Penyebab kedua yang saling berkaitan
dengan penyebab pertama adalah semakin berkurang nilai nilai pendidikan moral
di setiap jenjang pendidikan formal. Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Pendidikan cenderung diarahkan kepada pencapaian kemampuan kognitif
siswa saja .
Walaupun di dalam tiga aspek
pendidikan juga terkandung ranah psikomotor dan afektif (sikap), namun tetap
saja tidak mampu memberikan solusi bagi persoalan degradasi moral bangsa ini.
Lantas apakah yang menjadi penyebab ranah pendidikan afektif tersebut tidak
ampuh untuk mengatasi masalah ini?
Hal ini disebabkan karena ranah
afektif yang dimaksud adalah sikap dan minat siswa terhadap masing-masing
bidang studi yang sedang mereka pelajari. Jadi, ranah afektif yang dimaksud
bukanlah sikap moral dan nilai etika yang mampu meninggikan derajat manusia
karena keelokan budi pekerti.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan
adalah pendidikan moral semenjak dini dari lingkungan keluarga. Banyak orang
tua yang terjebak pada pola pendidikan yang sebenarnya justru berdampak negatif
bagi perkembangan anak-anaknya.
Orang tua mengajarkan anak-anaknya
berdemokrasi tapi tidak membekalinya dengan batasan yang wajib diketahui
mereka. Sehingga, terjadi kebablasan dalam mengartikan kebebasan berpendapat,
kebebasan bersikap, kebebasan dalam memilih tontonan yang layak, kebebasan
dalam bergaul, kebebasan memilih pakaian sesuka mereka.
Ironisnya, orang tua ber-apologi
dengan kata-kata 'biarlah, mereka kan masih muda'. Para anak-anak pun punya
jawaban ampuh ketika ditegur, 'ah ... Bapak seperti tidak pernah muda saja'.
Maka lengkaplah sudah proses 'demokrasi' dalam sebuah keluarga.
Tugas orang tua tidak hanya sekedar
memenuhi kebutuhan lahiriah saja seperti makan, tempat tinggal, dan pendidikan
formal. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah kebutuhan anak untuk menjadi
manusia paripurna dengan balutan budi pekerti yang menawan banyak orang juga
merupakan tanggung jawab orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar